Sporty Magazine official website | Members area : Register | Sign in
graphic myspace at Gickr.com

GUEST LIST

Tampilkan postingan dengan label Tips Trik SDM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tips Trik SDM. Tampilkan semua postingan

Cara Praktis Menentukan Jumlah Staf yang Efektif dan Efisien

Proses penentuan jumlah pegawai melalui analisis manpower planning dapat dilakukan dengan dua cara, yakni ratio analysis dan workload analysis.

Metode ratio analysis  adalah cara untuk mengestimasi kebutuhan jumlah tenaga kerja berdasar rasio antara faktor tertentu (misalnya jumlah pendapatan) dengan jumlah karyawan yang dibutuhkan (misalnya jumlah pegawai yang diperlukan). Dalam konteks perusahaan Anda (Bursa Efek Indonesia), maka faktor yang bisa dijadikan patokan untuk menentukan kebutuhan tenaga kerja bisa berupa jumlah emiten, atau jumlah pendapatan (revenue) selama setahun, atau nilai kapitalisasi pasar.

Dengan mematok rasio tertentu, maka Anda akan bisa mengestimasi berapa kebutuhan tenaga kerja yang ideal. Contoh, kalau pendapatan perusahaan Anda selama setahun Rp 50 milyar, maka jumlah pekerja sebaiknya sekitar 500 (rasio 1 : Rp 100,000,000). Contoh lain, kalau jumlah emiten 200 perusahaan, maka jumlah karyawan sebaiknya sekitar 400 (1 : 2).

Lalu, berapa patokan angka rasio yang ideal? Nah, di sini Anda bisa melakukan perbandingan dengan perusahaan sejenis di negara lain. Misalnya, di Bursa Efek Thailand, berapa perbandingan antara pendapatan setahun mereka dengan jumlah karyawan; atau perbandingan antara jumlah emiten dengan jumlah karyawannya.

Metode rasio ini juga bisa diterapkan untuk menentukan jumlah pegawai di bagian support (IT, HR and GA, Finance) dengan jumlah pegawai di bagian core function. Angka rata-rata yang dipatok adalah 15 %. Artinya kalau jumlah total perusahaan Anda adalah 500, maka total karyawan dibagian support itu sebaiknya berkisar pada angka 75.

Metode kedua adalah dengan cara workload analysis. Metode ini merupakan proses untuk menghitung beban kerja suatu fungsi tertentu dalam perusahaan. Dari perhitungan ini kemudian dapat ditentukan berapa jumlah kebutuhan ideal pegawai yang dibutuhkan.

Secara spesifik, terdapat tiga langkah kunci untuk melakukan workload analysis. Yang pertama adalah menentukan output utama dari suatu fungsi tertentu, dan kemudian mengidentifikasi rangkaian aktivitas kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan output tersebut. Langkah berikutnya, mem-break down rangkaian aktivitas menjadi satuan tugas yang lebih rinci dan spesifik, serta mengekelompokkan satuan tugas tersebut berdasar tingkat kesulitan/kompleksitasnya.

Langkah selanjutnya adalah melakukan proses perhitungan jumlah waktu total yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masing-masing satuan tugas tersebut. Dari sini akan dapat dihitung jumlah total waktu yang digunakan untuk menghasilkan keseluruhan output utama dari fungsi yang dianalisis. Jumlah total waktu yang dibutuhkan inilah yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk menghitung jumlah ideal pegawai yang dibutuhkan.

Terdapat beberapa referensi yang membantu untuk melaksanakan proses di atas, antara lain:
1. Edward J. Folk, Methods Analysis and Work Measurement, Mcgraw Hill
2. C.R.Wynne- Roberts and George Kanawaty, Introduction to Work Study, International Labour Office.

Cara Mengatasi Turn-Over yang tinggi

Setidaknya ada dua hal yang dapat dipelajari dan dipertimbangkan dalam menghadapi situasi yang ada.

Pertama, melihat faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat motivasi atau engagement karyawan.
Ada beberapa faktor utama yang mempengaruhi karyawan untuk termotivasi dalam bekerja (dan tinggal serta berprestasi di dalam suatu perusahaan). Gaji sering dilihat sebagai faktor utama, namun bukan satu-satunya. Contoh: banyak orang yang memilih menjadi guru, peneliti dan profesi-profesi lain dengan gaji yang tidak terlalu tinggi, dibandingkan bekerja sebagai profesional di perusahaan dengan gaji yang tinggi.

Beberapa faktor utama yang sering dilihat dalam berbagai penelitian antara lain:
  1. Lingkungan kerja, termasuk kondisi fisik tempat kerja yang ada. Ada karyawan yang suka bekerja di luar kantor bahkan di hutan atau tengah laut, ada yang suka di kantor dan di belakang meja.
  2. Hubungan dan suasana kerja. Bagaimanakah kualitas hubungan antarkaryawan maupun antara karyawan dengan dengan pimpinan? Apakah harmonis, kohesif, terbuka atau penuh konflik dan ketidak-percayaan?
  3. Sifat pekerjaan. Apakah pekerjaan yang ada sesuai dengan aspirasi, menarik dan memberikan tantangan kepada karyawan? Apakah pekerjaan yang ada sesuai dengan kompetensi karyawan? Kalau seorang yang suka tantangan dan berinovasi diberikan pekerjaan yang rutin dan membosankan, kemungkinan besar motivasi karyawan ini akan terpengaruh. Kalau seorang yang memiliki kompetensi di bagian keuangan diberikan pekerjaan yang tidak berhubungan, tentu ini juga akan mempengaruhi motivasinya dalam bekerja.
  4. Kesempatan untuk Mengembangkan karir. Apakah perusahaan membantu dan memberikan kesempatan bagi karyawan untuk berkembang dan membangun karirnya? Apakah kita memberikan pelatihan yang cukup bagi karyawan untuk dapat meningkatkan kompetensinya --- dan pada akhirnya membantu organisasi menjadi lebih baik?
  5. Kebanggaan terhadap perusahaan. Apakah perusahaan memberikan jasa atau produk yang membuat karyawan bangga terhadap perusahaan mereka? Apakah perusahaan memberikan informasi/komunikasi yang cukup mengenai jasa/produk yang diberikan atau dihasilkan oleh perusahaan? Manakah yang memberikan motivasi lebih tinggi dalam bekerja; penyalur obat-obatan untuk kesehatan atau penyalur obat-obatan terlarang? Apa yang dapat membuat karyawan kita bangga bekerja di perusahaan kita?
  6. Penghargaan. Apakah karyawan mendapatkan penghargaan, baik dalam bentuk finansial (kompensasi/remunerasi) maupun non-finansial yang layak dan fair? Rasa puas relatif sifatnya. Mendapatkan gaji Rp 50 juta sebulan atau kenaikan gaji 50% bisa terasa memuaskan atau tidak tergantung pada apa yang diterima rekan kerja yang sepandan. Kalau pekerjaan yang sama di perusahaan yang sama mendapatkan jauh lebih dari 50 juta, maka apa yang sebelumnya dilihat memuaskan bisa menjadi tidak memuaskan. Ini dari sisi finansial. Dari sisi non-finansial, sejauh-mana pimpinan memberikan apresiasi kepada karyawannya dalam bekerja. Sering tepukan di pundak memberi selamat dan ucapan terima-kasih tulus dari pimpinan yang dilakukan di depan orang banyak memberikan nilai dan semangat yang jauh lebih besar dibandingkan penghargaan finansial.

Terkait khusus dengan faktor Penghargaan ini, perusahaan dapat mempertimbangkan untuk memberikan jenis-jenis kompensasi yang menarik dan bersifat jangka-panjang dengan tujuan retention (mempertahankan karyawan), misalnya, ekstra bonus prestasi setelah 3 tahun bekerja; fasilitas cicilan rumah setelah 5 tahun bekerja; bea-siswa S-1 atau S-2 setelah 5 tahun, dan fasilitas-fasilitas lain yang bisa dikaitkan atau tidak dikaitkan dengan prestasi kerja karyawan. Bentuk-bentuk "retention tool" apapun yang kreatif dapat dipertimbangkan selama dapat memotivasi dan membantu mempertahankan karyawan-karyawan (pilihan) dan relatif tidak memberatkan perusahaan dari sisi keuangan.

Nah, faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi ini dapat dipelajari dari karyawan-karyawan yang mengundurkan diri sehingga perusahaan dapat memperbaiki situasi yang ada. Exit interview merupakan salah-satu cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan informasi diperlukan. Mencari informasi melalui jalur informal antar karyawan tentu juga dapat membantu bila perusahaan melihat bahwa karyawan yang pergi tidak memberikan informasi yang akurat.

Selain mendapatkan informasi dari karyawan-karyawan yang keluar, perusahaan juga dapat melakukan wawancara maupun temu-muka atau focus group discussions untuk mendapatkan informasi dan masukan dari karyawan-karyawan yang masih bekerja di perusahaan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi dan kinerja mereka. Kalau secara umum hubungan kerja di perusahaan positif, karyawan tentu dapat memberikan masukan yang baik kepada perusahaan untuk memperbaiki situasi yang ada.

Tentu tidak mungkin perusahaan dapat memuaskan setiap karyawan, baik karena manusia sendiri itu tidak pernah puas maupun karena perusahaan memiliki keterbatasan sumber daya (dana) dalam menyediakan berbagai hal yang diperlukan untuk meningkatkan motivasi karyawan. Perusahaan-perusahan dalam daftar "The Best Companies to Work For", seperti Google, Harley Davidson maupun perusahaan ice-cream Baskin & Robbins pun mengalami turn-over; walau umumnya tentu tidak setinggi perusahaan yang lain. Namun informasi-informasi yang ada akan membantu organisasi menjadi lebih baik.

Kedua, turn-over itu sehat kalau yang keluar adalah karyawan yang kurang berprestasi maupun tidak berpotensi.

Setiap perusahaan tentu berharap bahwa setiap karyawan bisa berprestasi dan bekerja dengan baik untuk membantu perusahaan mencapai visi dan misinya. Karyawan yang berpotensi dan berkinerja baik tentu perlu dipertahankan (dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi mereka dalam bekerja), sementara karyawan yang kurang baik tentu diharapkan dan diusahakan dapat berpisah dengan baik-baik. Yang menjadi tantangan adalah apakah perusahaan memiliki alat/sistem SDM/informasi yang cukup yang dapat membedakan mana karyawan yang berkinerja baik dan kurang-baik, mana yang memiliki potensi maupun tidak? Tanpa ini, kita akan kesulitan untuk menilai apakah "turn-over" ini sehat atau kurang sehat.

Terkait dengan hal ini, kita juga perlu melihat proses rekrutmen yang ada. Apakah perusahaan merekrut karyawan yang memiliki kualifikasi yang kita harapkan dan sesuai dengan sifat pekerjaan yang ada, atau perusahaan merekrut karyawan yang (ternyata) sekedar mencari pekerjaan supaya ada pemasukan, sambil menunggu kesempatan yang lebih baik? Dalam proses rekrutmen, tidak asing untuk kita dapati bahwa pelamar bahkan tidak tahu apa jasa yang diberikan maupun produk yang dihasilkan oleh perusahaan; yang penting untuk mereka adalah tidak menganggur. Calon pegawai yang "mau bekerja apa saja" ini yang perlu dilihat ekstra hati-hati agar perusahaan dan karyawan dapat membangun hubungan kerja jangka-panjang yang baik. Proses rekrutmen yang lebih hati-hati ini juga mengurangi resiko perusahaan di kemudian terutama yang berkaitan dengan implikasinya dari sisi UU Ketenaga-Kerjaan; suatu hal yang ekstra penting di Indonesia.

Manager yang membuat Perubahan

Pada tahun 2005 lalu, IBM Global Business Services melakukan survei bertajuk The Global Human Capital Study yang melibatkan lebih dari 300 organisasi di seluruh dunia –31% responden berasal dari kawasan Asia Pasifik. Survei juga diperkuat dengan wawancara terhadap lebih dari 100 Chief Human Resources Officer (CHRO).

Hasil survei tersebut mengkonfirmasikan bahwa sebagian besar organisasi menyadari, manusia dapat memberikan perbedaan kompetitif dan memiliki kemampuan untuk mentransformasikan potensi yang dimilikinya. Namun, agar dapat merespon pasar global yang terus berubah, diperlukan komitmen perusahaan tentang program dan layanan SDM yang menyegarkan, termasuk mentransformasikan peran para manajer.

Manajer memiliki peran yang penting dalam meningkatkan kepuasan dan komitmen karyawan. Pemahaman ini merupakan dasar dari visi strategis yang lebih besar. Yakni, bagaimana manajer membantu karyawan memahami peran masing-masing, dan membuat mereka tetap terhubung dengan strategi perusahaan, merasa memiliki kemampuan, dihargai dan diperhatikan.

Cara yang baik untuk memulainya adalah memahami apa yang membentuk komitmen karyawan. Idealnya, para manajer harus mampu --dan diberi wewenang untuk-- mendorong faktor-faktor keberhasilan yang mempengaruhi iklim organisasi, yakni:

Kejelasan dan kepemimpinan: Para manajer dituntut untuk bisa membantu karyawan memahami strategi organisasi secara keseluruhan dan bagaimana pekerjaan mereka mempengaruhi keberhasilan perusahaan. Para manajer juga harus memastikan pimpinan senior mengambil tindakan yang perlu – berdasarkan umpan balik dari karyawan– untuk memastikan perusahaan tetap kompetitif.

Tantangan dan Kesempatan: Para manajer harus membantu mengidentifikasi atau memfasilitasi kesempatan bagi karyawan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan berkontribusi terhadap pekerjaan yang menantang, menarik dan berarti.

Pemberdayaan: Para manajer berkewajiban memberdayakan karyawan dalam kemampuan mengambil risiko yang memungkinkan inovasi perusahaan. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan kebebasan kepada mereka untuk memutuskan, bagaimana pekerjaan mereka diselesaikan dan memastikan bahwa mereka memiliki alat-alat dan sumber daya yang dibutuhkan.

Hadiah dan Penghargaan: Para manajer harus menghargai karyawan berdasarkan performa, usaha dan keberhasilan mereka. Hal ini membantu karyawan memahami bahwa pekerjaan mereka mempengaruhi keberhasilan perusahaan.

Fleksibilitas Kerja: Para manajer perlu menyadari pentingnya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan, serta memberi kesempatan kepada karyawan untuk memanfaatkan sarana yang mendukung hal itu. Dengan menciptakan fleksibilitas untuk menentukan bagaimana, kapan dan di mana mereka bekerja, karyawan akan merasa dapat mengendalikan situasi yang mereka hadapi, tidak terlalu stres dan pada akhirnya menjadi lebih produktif.

Praktik di IBM
Di perusahaan IBM, misalnya, pada 2004 silam mengadakan IBM WorldJam, sebuah jam kolaboratif online yang memungkinkan karyawan IBM di seluruh dunia saling berkomunikasi, berkolaborasi dan membuahkan ide-ide yang dapat membuat IBM lebih baik. Hampir 60.000 IBMer melakukan jam tentang berbagai cara mempercepat pertumbuhan yang menguntungkan, meluncurkan inovasi dan merangsang produktivitas.

Beberapa ide muncul dari situ, yang paling populer terkait dengan kepemimpinan dan peran penting manajer dalam membentuk perusahaan. Namun, ide yang dinilai paling baik dari WorldJam2004 adalah tentang menciptakan cara yang konsisten dan sistematis bagi karyawan untuk memberikan umpan balik dan pendapat mereka tentang efektivitas manajer mereka. Para karyawan mengatakan, manajer memiliki peran penting sebab secara langsung mempengaruhi iklim, retensi dan hasil bisnis.

Mereka juga percaya, hubungan manajer-karyawan yang erat dan saling percaya akan membantu membuat nilai-nilai karyawan lebih nyata. Karyawan yakin, manajer membutuhkan bantuan konstruktif agar menjadi manajer yang (lebih) baik. Melalui mekanisme tahunan yang kini sudah memasuki tahun ketiga, karyawan diminta memberikan umpan balik tentang manajer mereka. Feedback ini diproses dan masing-masing manajer akan menerima laporan yang menunjukkan kekuatan dan kelemahan mereka dalam mengelola karyawan.

Perusahaan yang berinvestasi untuk mengembangkan talenta top dan manajer-manajer mereka akan memiliki keunggulan kompetitif yang dahsyat. Para manajer memiliki posisi yang unik dan penting untuk membuat karyawan menyenangi pekerjaan mereka. Kemampuan jajaran manajer untuk berbagi dan menghubungkan strategi perusahaan dengan tim-tim mereka berdampak langsung pada keberhasilan perusahaan. Sungguh pekerjaan yang berat, tapi kita harus mempercayai manajer kita mampu melakukannya sebaik mungkin.

(Sumber : Country Manager Human Resources, IBM Indonesia)

Bagaimana agar HRD tidak jadi musuh Karyawan ?

Satu permasalahan yang kerap dialami seorang Manajer HRD adalah sulitnya organ-organ perusahaan membedakan antara tugas-tanggung jawab HRD dengan tugas-tanggung jawab para manajer lini. Khususnya, dalam menangani persoalan-persoalan para karyawan yang notabene juga anak buah para manajer lini. Pada era sebelumnya, HRD masih disebut dengan bagian Personalia. Tugasnya hampir sama dengan Biro Kepegawaian kalau di Pegawai Negeri. Semua masalah kepegawaian dari mulai absensi, cuti, penilaian karyawan, pemberian gaji, tunjangan kesehatan, pembagian bonus, bimbingan dan konsultasi, pemberian sanksi terhadap pelanggaran kedisiplinan, serta seabrek tugas kepegawaian lainnya, semua Bagian Personalia yang mengurusi.

Sampai sekarang citra HRD sebagai Personalia masih saja melekat di banyak anggota organisasi. Sehingga kalau ada kejadian pelanggaran kedisiplinan, rendahnya kinerja, ada karyawan yang mengundurkan diri, kekacauan penghitungan lembur, pengajuan persetujuan gaji, serta keputusan-keputusan lain yang menyangkut kepegawaian, selalu diserahkan kepada HRD. Pendek kata, HRD dijadikan tumpuan penyelesaian setiap persoalan karyawan. Seolah semua menjadi tanggung jawab HRD. Para atasan lain tinggal "terima beres". Mereka merasa tugasnya adalah pekerjaan di bagiannya, dan bukan menangani karyawan bermasalah, meskipun karyawan tersebut adalah bawahan mereka secara langsung.

Akibatnya, kesannya HRD seperti “polisi” di perusahaan, yang tugasnya selalu mengawasi pelanggaran-pelanggaran karyawan, dan menertibkannya. HRD juga sering dianggap “Santa Claus” yang bisa memberikan anugerah berupa kenaikan gaji. Sebaliknya, bila tidak ada kenaikan gaji berarti juga “dosa” HRD. Bisa jadi HRD menjadi sasaran umpatan-umpatan atau yang lebih parah menjadi “musuh bersama”, bila ada kebijakan perusahaan yang merugikan karyawan. Padahal, kalau ada penerimaan karyawan baru, para manager lini juga minta dilibatkan (dalam memutuskan), agar mereka bisa mendapatkan anak buah yang sesuai dengan keinginan mereka.

Oleh sebab itu, pada konsep yang baru, HRD mesti dibedakan dengan Personalia. HRD, fungsi dan tugasnya fokus pada pengembangan kamampuan dan pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) --bagaimana meningkatkan kontribusi SDM terhadap pencapaian tujuan organisasi. Urusan kepegawaian sehari-hari di lapangan mesti ditangani sendiri oleh para atasan pada bagian masing-masing. Hal ini karena fungsi personalia mesti melekat di semua manajer. Setiap manajer memiliki tanggung jawab secara organisasi terhadap setiap bawahannya, baik mengenai pengaturan kerja (termasuk supervisi), kinerja, bimbingan dan konsultasi, sikap, sampai ke soal pengajuan remunerasi.

Pertanyaannya kemudian, apakah fungsi HRD lantas sama sekali tidak bersinggungan dengan masalah kepegawaian? Tetap ada persinggungannya. Hanya saja HRD lebih bersifat ke penyusunan sistem, sedangkan pelaksanaan kesehariannya diserahkan (tanggung jawab dan wewenangnya) kepada masing-masing atasan, agar setiap atasan dapat menjalankan fungsi manajerial mereka. Sebagai contoh adalah soal performance review. Dalam hal penilaian, maka HRD mesti membuat sistem dan prosedur penilaian, sedangkan yang berhak memberikan penilaian adalah atasan, karena setiap hari yang tahu kinerja karyawan adalah atasannya. Juga mengenai hak cuti. Yang menyusun prosedur cuti adalah HRD, tapi yang berhak menyetujui atau tidak cuti tersebut adalah atasan.

Pengertian-pengertian yang demikian mesti disosialisasikan kepada seluruh atasan, agar mereka memahami fungsi dan tanggung jawab manajer, serta fungsi dan tanggung jawab HRD. Dengan demikian mereka tidak seenaknya saja melemparkan setiap permasalahan karyawan kepada HRD. Sebaliknya, HRD juga tidak begitu saja menjadi bulan-bulanan karyawan karena dianggap “mata-mata” atau “kaki tangan” pemilik perusahaan. HRD tidak lagi menjadi musuh. Sehingga diharapkan HRD dapat fokus pada pengembangan SDM yang ada di perusahaan.

Apakah Anda Seorang Boss yang Baik ?

Bos yang baik, dalam tilikan yang paling sederhana bisa dikatakan adalah bos yang bisa memberi kemudahan bagi karyawannya. Yakni, membantu menciptakan situasi yang memungkinkan karyawan bekerja tanpa rintangan. Sederhana bukan? Tapi, implementasinya tentu tak sesederhana itu.


Mulailah dengan pertanyaan mendasar : Apa yang membuat seorang bos baik di mata karyawan?

Semua riset yang dilakukan Sirota atas ribuan karyawan sejak 1972, secara konsisten memperlihatkan bahwa secara umum orang punya tiga tujuan dalam bekerja. Pertama, keadilan –mereka ingin merasa bahwa keberadaan mereka diakui dan dihargai sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.

Kedua, pencapaian –orang ingin bangga dengan perusahaannya dan tempat di mana ia berada. Ketiga, persahabatan, dalam arti hubungan kerja yang baik dan rasa ikut terlibat dalam tim. Jika tiga hal tersebut terpenuhi, Anda punya karyawan yang bersemangat.

Masalahnya adalah, pada sebagian besar perusahaan, semangat karyawan baru begitu tinggi, tapi kira-kira 6 bulan kemudian menurun secara tajam. Manajemen telah merusaknya. Yang dilakukan oleh bos yang buruk adalah membuat karyawan merasa tidak aman dengan pekerjaannya. Juga, memperlakukan karyawan layaknya anak kecil atau pelaku kriminal daripada orang dewasa yang bisa bertanggung jawab.

Tanda lain dari bos yang buruk adalah apabila karyawannya mengeluh, “Jika kami melakukan kesalahan, kami dimarahi tapi kalau kerjaan beres tidak ada ada ucapan terima kasih.”

Tapi, mungkin Anda bertanya, mengapa perusahaan harus peduli apakah karyawannya (masih) bersemangat atau tidak –yang penting kan pekerjaan mereka selesai? , banyak bukti persuasif mengenai hubungan langsung antara moral (semangat) karyawan dengan kinerja secara keseluruhan dari perusahaan, termasuk harga sahamnya di pasar. Karyawan yang bersemangat akan memperlakukan customer dengan baik, dan itu akan sangat berbeda dengan karyawan yang sudah tidak bersemangat.

Tidakkah sebagian besar bos –bahkan yang buruk- berpikir bahwa mereka telah melakukan hal yang benar? Jika Anda seorang manajer, bagaimana Anda mengatakan pada bawahan bahwa Anda bos yang baik, atau buruk?

Cara yang paling meyakinkan untuk menjawab pertanyaan itu adalah meminta tanggapan dari karyawan. Apa yang mereka pikirkan atas apa yang Anda kerjakan? Di sinilah, evaluasi 360 derajat sangat berguna, karena cara itu memberi kesempatan pada setiap orang untuk mengkritisi Anda secara konstruktif. Jika perusahaan Anda secara formal tidak memiliki program 360 derajat itu, Anda harus mengumpulkan pendapat orang mengenai diri Anda.

Tapi, berhati-hatilah dengan cara Anda bertanya. Sebab, orang sering takut untuk berkata jujur kepada bosnya. Mungkin Anda perlu sedikit training mengenai bagaimana memulai diskusi, sehingga Anda benar-benar bisa memetik pelajaran yang berharga dari sana.

Tips Membangun Motivasi

Ciptakan Sensasi
Ciptakan sesuatu yang dapat "membangunkan" dan membangkitkan gairah saat pagi menjelang. Misalnya, Anda berpikir esok hari harus mendapatkan keuntungan 1 miliar rupiah. Walau kedengarannya mustahil, tapi sensasi ini kadang memacu semangat untuk berkarya lebih baik lagi.

Kembangkan terus tujuan Anda
Jangan pernah terpaku pada satu tujuan yang sederhana. Tujuan hidup yang terlalu sederhana membuat Anda tidak memiliki kekuatan lebih. Padahal untuk meraih sesuatu memerlukan tantangan yang lebih besar. Tujuan hidup yang besar akan membangkitkan motivasi dan kekuatan tersendiri dalam hidup Anda.

Tinggalkan teman yang tidak perlu
Jangan ragu untuk meninggalkan teman-teman yang tidak dapat mendorong Anda mencapai tujuan. Sebab, siapa pun teman Anda, seharusnya mampu membawa pada perubahan yang lebih baik.

Hampiri bayangan ketakutan
Saat Anda dibayang-bayangi kecemasan dan ketakutan, jangan melarikan diri dari bayangan tersebut. Datang dan nikmati rasa takut dengan mencoba mengatasinya. Saat berhasil mengatasi rasa takut, saat itu Anda telah berhasil meningkatkan keyakinan diri bahwa Anda mampu mencapai hidup yang lebih baik.

Optimis dan rasa senang
Jangan pernah terbebani dengan tujuan hidup. Coba nikmati hidup dan jalani yang Anda tempuh. Jika sejak awal Anda suka merasa "tidak suka" rasanya motivasi hidup tidak akan pernah Anda miliki.

Teruslah berlatih
Tidak bisa tidak, Anda harus berjalan terus bila ingin mendapatkan hasil terbaik. Pada dasarnya tidak ada yang tidak dapat Anda raih jika Anda terus berusaha keras.

Ciptakan hasrat
Lihat imbalan dari usaha Anda secara jelas. Cara ini memberikan banyak motivasi untuk membuat rencana Anda cepat terwujud. Bayangkan rumah impian Anda setiap hari, ini akan memberikan Anda dorongan untuk menjadikannya nyata.

Bicarakan rencana Anda
Bicaralah pada pasangan Anda tentang rencana Anda, atau tuliskan dalam selembar kertas apa yang Anda lakukan lalu tempelkan di kulkas.

Ciptakan keseimbangan mental
Sangat sulit untuk menemukan motivasi jika Anda dalam keadaan tertekan. Hilangkan beberapa perasaan negatif Anda, atau pada akhirnya pilih kerjakan pekerjaan penting saat Anda dalam mood yang bagus.

Ambil sebuah langkah kecil
Lakukan pengumpulan untuk satu tas besar daun-daun di halaman. Dan dengan segera Anda akan membersihkan halaman. Setiap sebuah langkah kecil yang Anda ambil untuk mencapai tujuan akan memberikan motivasi pada Anda setiap hari.

Bekerja Tanpa Rasa Sengsara

Anda merasa sengsara di tempat kerja? Anda merasa berat setiap kali memulai pekan aktivitas rutin Anda pada Hari Senin. Anda merasa tak (lagi) tertantang dan tak nyaman. Atau, inilah yang Anda hadapi: bos yang galak. Apakah sejumlah rekan kerja Anda menyebalkan? Anda merasa apapun yang Anda lakukan dianggap tak pernah cukup. Jika Anda terus bertahan dalam situasi-situasi seperti itu, bisa dipastikan lama-lama Anda akan membenci pekerjaan Anda. Dan, membenci pekerjaan adalah sumber dari kesengsaraan dalam hidup.

Mengapa itu bisa terjadi? Kenali sebab-sebabnya agar Anda bisa menghindari dan mengakhiri kesengsaraan Anda.

1. Terlibat dalam obrolan atau pergaulan dengan orang-orang yang selalu menemukan kesalahan dengan perusahaan, manajemen, customer dan rekan sekerja. Jika Anda berkubang dalam kesengsaraan, terus-menerus mendengarkan cerita-cerita tentang ketidakbahagiaan dan orang-orang yang mengalami kesulitan jelas tidak akan membantu Anda keluar dari kubangan itu. Ketidakbahagiaan itu menular. Menjauhlah untuk menghindari virus tersebut.

2. Berada dalam lingkungan pekerjaan yang tidak menantang, tidak menggairahkan dan tidak-berpenghargaan. Hari demi hari, tahun ke tahun, Anda tambeng dengan pekerjaan yang sebenarnya tidak memenuhi harapan Anda. Datanglah ke konsultan karir yang ada di kampus atau lembaga konsultan. Carilah peluang kerja lain; temukan jalan untuk memberdayakan keahlian Anda secara berbeda. Ambillah tes dan konsultasi untuk mengidentifikasi pekerjaan apa yang lebih bisa menggairahkan Anda.

3. Kegagalan dalam mengambil tanggung jawab untuk mengembangkan diri Anda sendiri. Anda tidak bisa menunggu selamanya pada bos yang tidak komunikatif dalam memberi feedback berkaitan dengan peningkatan dan perkembangan (personal dan profesional) Anda. Faktanya, pada sejumlah organisasi, Anda bisa menunggu beberapa tahun untuk penghargaan atau feedback atas kinerja Anda. Mengapa menunggu orang lain? Mengapa tidak mengambil tanggung jawab demi (perkembangan) diri Anda sendiri? Tak seorang pun pernah peduli pada peningkatan dan perkembangan Anda kecuali diri Anda sendiri.

4. Bertahan bekerja di bawah bos yang buruk. Bos yang buruk, baik dia tipe orang yang tak bertanggung jawab atau pun "sekedar" orang yang berkelakuan tak menyenangkan, jarang bisa berubah tanpa adanya kejadian yang luar biasa. Hal (yang luar biasa) itu bisa saja terjadi, tapi sampai kapan Anda akan menunggu sambil terus-menerus mengeluh tentang betapa sengasaranya Anda di tempat kerja?

5. Bekerja pada perusahaan yang praktik-praktik bisnisnya tidak Anda sukai. Bekerja untuk perusahaan yang menipu konsumen? Memberi janji-janji palsu pada karyawan? Tinggalkan secepat Anda bisa.

6. Bekerja pada perusahaan yang terus-menerus merugi. Perusahaan yang baik mungkin saja sesekali mengalami kesulitan --ini masih bisa membuat Anda bertahan. Tapi, perusahaan yang secara operasional selalu mendekati kebangkrutan jelas menciutkan optimisme dan antusiasme Anda.

7. Bertahan dalam pekerjaan yang membuat Anda merasa jalan di tempat. Ada beberapa alasan mengapa Anda merasa tak beranjak. Perusahaan tempat Anda bekerja kecil dan tidak berkembang. Anda tak pernah mendapat promosi karena di situ memang minim pendidikan, pengalaman dan kesempatan-kesempatan untuk berkembang. Anda sudah bicara pada bos namun masalah tak bisa diatasi. Jika Anda cukup ambisius dan ingin berkembang, inilah saatnya untuk melangkah ke luar.

8. Anda berusaha menyumbangkan ide-ide untuk meningkatkan kualitas (lingkungan) kerja, tapi tak pernah diwujudkan. Bertahan dalam lingkungan kerja yang gagal merespon saran-saran dari karyawan tentunya membuat Anda juga mempertanyakan nilai saran Anda sendiri. Ini merupakan racun yang menggerogoti kepercayaan diri Anda. Carilah lingkungan kerja yang lebih suportif.

9. Gaji kecil. Untuk urusan yang satu ini, hanya Anda yang mengerti "hitung-hitungannya". Tanya pada diri Anda sendiri, seberapa layak Anda dibayar? Kalau Anda merasa gaji Anda terlalu kecil untuk kerja yang telah Anda lakukan, Anda punya pilihan.

Mempromosikan diri tanpa "Menjilat"

Banyak cara untuk mencari perhatian di tempat kerja, baik itu dari teman-teman satu tim maupun dari atasan. Siapa sih yang tak ingin kelihatan menonjol di mata orang lain. Lebih-lebih dalam konteks pekerjaan, "menonjol" bisa membantu mempercepat kemajuan karier. Namun, berhati-hatilah. Keinginan yang terlalu menggebu untuk terlihat paling menonjol di antara yang lain di kantor, salah-salah bisa membuat Anda "over-acting". Bila ini terjadi, bukannya simpati atau penilaian yang positif yang Anda dapatkan melainkan justru label buruk, misalnya Anda bisa dicap sebagai penjilat. Memangnya Anda mau mendapatkan penghargaan sebagai The Most Likely to Kiss Some Boss Butt ?

Oleh karenanya sebelum Anda beraksi di tempat kerja, pastikan dulu Anda mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
  1. Apakah Anda tipe karyawan yang sebenarnya tidak memiliki keterampilan yang jelas dalam bidang tertentu, namun pintar memanfaatkan situasi dan mencari celah untuk mempromosikan diri?
  2. Apakah Anda suka membuatkan kopi untuk bos, sambil berusaha agar semua orang tahun bahwa Anda melakukannya?
  3. Apakah Anda selalu merasa punya andil dan jasa atas kesuksesan orang lain, padahal kenyataannya tidak demikian, atau andil dan jasa Anda tidak sebesar yang Anda gembar-gemborkan?
  4. Sebaliknya dari no.3, apakah Anda gemar mencari kesalahan orang lain untuk kegagalan pekerjaan Anda?
  5. Apakah Anda punya kebiasaan mengulur-ulur waktu meeting dengan komentar-komentar panjang yang "nggak penting", sekedar untuk menunjukkan bahwa Anda ada di situ?
  6. Apakah Anda suka menggosipkan teman-teman sekerja, dan menceritakan kekurangan mereka kepada atasan?
  7. Apakah Anda orang terakhir yang meninggalkan kantor padahal sebenarnya tak ada alasan apapun bagi Anda untuk pulang belakangan?
Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut "tidak", maka Anda memang bukan seorang penjilat. Namun, jika Anda masih ragu-ragu atau bahkan diam-diam mulai mengakui bahwa semua itu adalah kebiasaan Anda sehari-hari selama ini, maka Anda sebenarnya bukanlah karyawan yang berdedikasi seperti yang Anda pikirkan. Artinya, inilah saatnya bagi Anda untuk berubah, demi kesehatan karier Anda. Sebab, percayalah, di mana pun tak ada tempat bagi orang yang menempuh cara-cara yang bersifat menjilat dalam mengejar kemajuan karier di tempat kerja.

20 Perilaku yang merusak kepercayaan

"Tiada kata 'saya' dalam sebuah tim," begitulah ungkapan yang sering kita dengar di tempat kerja. Namun, faktanya, selalu ada anggota tim yang cenderung ingin menonjolkan diri, merasa berperan lebih atau paling besar di antara yang lainnya. Jika sudah begini, semangat tim pun menjadi rusak. Hubungan antaranggota diwarnai dengan ketidakpercayaan. Akibatnya, dikerja dan produktivitas pun terganggu. Kita semua bisa menghindari hal itu terjadi, dengan menjauhkan diri dari sikap-sikap dan perilaku-perilaku yang bisa merusak kepercayaan orang lain terhadap diri kita. Apa saja itu?

1. Gagal menepati janji-janji, persetujuan dan komitmen

2. Mengutamakan kepentingan diri sendiri

3. Semua hal ingin dilakukan sendiri, dan menolak pendelegasian

4. Tidak konsisten antara perkataan dan perbuatan

5. Pelit berbagi informasi penting

6. Menyembunyikan kebenaran

7. Suka menyalahkan orang lain, dan berusaha menutupi kesalahan sendiri

8. Lebih senang menghakimi dan mengkritik ketimbang memberikan umpan balik yang konstruktif

9. Tak mampu menjaga rahasia dan justru senang menggosipkan orang lain

10. Membatasi kesempatan orang lain untuk ikut berkontribusi atau terlibat dalam pengambilan keputusan

11. Meremehkan bakat, pengetahuan dan keterampilan orang lain

12. Ogah mendukung pengembangan profesional orang lain

13. Menolak dinilai oleh kolega

14. Menolak berkompromi dengan argumentasi orang lain; mau menang sendiri

15. Tertutup

16. Lebih menyenangi sarkasme ketimbang humor

17. Tidak mengakui kekurangan dan tak mau minta bantuan orang lain

18. Menganggap saran dan kritik orang lain sebagai serangan terhadap pribadi

19. Tak banyak berkontribusi dalam berbagai meeting tim, dan malah cenderung mengganggu

20. Menggalang kelompok kecil untuk "melawan" keputusan tim.


Mengatasi Rasa Malas di Tempat Kerja

Rasa malas kerap digambarkan sebagai hilangnya motivasi seseorang untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan. Ini merupakan sejenis penyakit mental yang dapat berakibat buruk dan sangat merugikan. Perasaan malas dapat menyebabkan kinerja seseorang menjadi kacau karena tidak mengerjakan tugas-tugasnya dengan baik. Segala macam kesuksesan tidak akan menghampiri bila penyakit ini masih menempel dalam diri seseorang.

Menurut Edy Zaqeus, rasa malas diartikan sebagai keengganan seseorang untuk melakukan sesuatu. Yang termasuk dalam keluarga besar malas adalah menolak tugas, tidak disiplin, tidak tekun, rasa sungkan, suka menunda pekerjaan, dan mengalihkan diri dari kewajiban. Malas berdampak terhadap produktivitas kerja. Karena malas, seseorang menjadi tidak produktif bahkan mengalami stagnasi. Badan terasa lesu, semangat dan gairah menurun, ide pun tak mengalir. Akibatnya, kita tidak mempunyai kekuatan apa pun untuk bekerja secara optimal. Jika dibiarkan berlarut-larut, penyakit malas akan semakin ‘kronis’.

Negatif

Kebiasaan malas biasanya muncul lantaran kita suka mengaitkan pemikiran dengan sudut pandang yang negatif. Saat membayangkan setumpuk tugas yang harus dilakukan atau kegiatan lain yang menjadi tanggung jawab kita, bukannya segera kita selesaikan pekerjaan itu, kita malah menundanya sehingga mengundang stres.

Untuk mengatasi rasa malas, kita harus membuat tujuan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Tanpa tujuan yang benar, kita hanya bergerak secara naluriah. Posisi seperti ini akan membuat kita menjadi pasif, yang ditandai dengan selalu menunggu perintah, tergantung pada situasi, dan cenderung menyerah kepada nasib. Untuk memunculkan gairah dan motivasi, kita harus berani memutuskan tujuan hidup kita.

Selain itu, Anda perlu selalu mengasah kemampuan. Dengan memiliki kemampuan yang baik, perasaan malas dapat segera diatasi. Dalam hal ini, Anda dapat menghadapi dan menyelesaikan masalah di pekerjaan karena memiliki kemampuan untuk melakukannya. Dengan sendirinya, ini akan memperkuat rasa percaya diri, menebalkan komitmen pencapaian tujuan, dan tentu saja menumbuhkan semangat. Sebaliknya, bila kita menolak aktivitas pembelajaran, komitmen kita akan melemah yang pada gilirannya dapat menurunkan semangat kerja dan menimbulkan kemalasan yang berkepanjangan.

Menambah pergaulan juga dapat mengatasi rasa malas yang timbul di kantor. Sebaiknya Anda jangan terlalu lama duduk berdiam diri. Dengan bangkit dan menghampiri orang-orang yang sedang tekun serta semangat dalam melakukan pekerjaannya, akan membangkitan motivasi kita untuk bekerja. Pancaran optimisme dan semangat itu dapat menginspirasi kita, bahkan menularkan semangat yang sama kepada orang lain. Selain itu, menerapkan disiplin dalam aktivitas sehari-hari merupakan obat mujarab untuk menumbuhkan kebiasaan positif dalam diri kita.

Bangkit dari Malas

Bila segala daya dan upaya telah Anda lakukan namun perasaan malas itu tetap bercokol dalam diri Anda, maka cobalah tips yang telah dipraktikkan oleh Rahmadsyah, seorang Mind-Therapist, ini. Menurutnya, seseorang yang mengetahui bahwa dirinya sedang malas dapat menggunakan perasaan itu sebagai alat untuk mencapai hasrat terbesar. Bagaimana caranya? Berikut ini cara yang pernah ia praktikkan:

Pertama, control the state.

Jika rasa malas merasuki tubuh dan pikiran Anda, segeralah mengubah kondisi fisik Anda. Kalau tadinya Anda duduk dengan bahu agak turun ke bawah, sehingga tubuh Anda tak bertenaga, lemah, lesu, letih, dan loyo, sekarang bangkitlah dan berdiri tegak. Lihat ke atas, tarik napas yang dalam, kemudian hembuskan kembali. Lakukan sebanyak 3x atau sampai Anda merasa nyaman.

Kedua, visualisasikan mimpi Anda.

Ungkap Rahmadsyah. Anthony Robbins juga menuliskan dalam bukunya Awaken The Giant Within bahwa salah satu penyebab seseorang tidak termotivasi hingga jadi tidak bersemangat dan bermalas-malasan, karena mimpi-mimpi yang Anda tulis atau Anda inginkan, kurang menginspirasi Anda untuk bertindak. Tatkala Anda mencoba memvisualisasikannya, Anda telah melakukan perubahan besar. Anda telah mengganti pikiran dan fokus, dari tatapan kosong, blank, tidak tahu harus melakukan apa menjadi terisi gambaran besar akan terwujudnya cita-cita Anda. Semakin kuat visualisasi Anda, gambar, suara, semakin detail Anda melakukannya, semakin besar pula khasiatnya.

Sekalipun seseorang memiliki cita-cita atau impian yang besar, jika kemalasannya mudah muncul, cita-cita atau impian besar itu akan tetap tinggal di alam mimpi. Jadi, kalau kita ingin sukses, buanglah perasaan malas Anda dan bangkitlah! ■ ( Sumber Daya Manusia )


Content List

PESONA WISATA

Followers